Obat racikan atau puyer kini menjadi perbincangan hangat di masyarakat, sehingga anggota dewan dan menteri kesehatan pun harus ikut memberikan komentar. Resiko itu bisa timbul mulai dari kebersihan alat alat maupun tangan si pembuatnya, sisa obat yang mungkin masih menempel di tempat penumbukan, takaran obat yang diracik diragukan ketepatannya sampai dengan reaksi kimia dari obat – obat yang diracik/dicampur.
Campuran berbagai obat yang diracik dan dijadikan "puyer" (obat bubuk)
atau dimasukkan ke dalam kapsul atau sirup oleh petugas apotik lazim
disebut compounding. Lima puluh tahun yang lalu pembuatan obat dengan
cara racikan ini dikerjakan pada 60% resep dokter, namun di luar negeri resep
racikan ini turun tinggal 1% sekarang. Di Indonesia, termasuk Siloam
Gleneagles Hospital Lippo Karawaci (SGHLK) resep puyer untuk anak
masih sering sekali dijumpai. Setiap hari rata-rata apotik SGHLK
membuat 130 resep puyer untuk memenuhi permintaan resep dokter.
Mengapa dokter sering meresepkan obat puyer?
Peresepan obat puyer untuk anak di Indonesia sangat sering dilakukan
karena beberapa faktor yaitu:
1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan anak secara lebih tepat.
2. Biayanya bisa ditekan menjadi lebih murah.
3. Obat yang diserahkan kepada pasien hanya satu macam, walaupun
mengandung banyak komponen.
Apa masalah yang ditimbulkan pembuatan obat racikan bentuk puyer?
Dewasa ini peresepan obat puyer di negara maju sudah sangat berkurang
karena:
1. Kemungkinan kesalahan manusia dalam pembuatan obat racik puyer ini
tidak dapat diabaikan, misalnya kesalahan menimbang obat, atau membagi
puyer dalam porsi2 yang tidak sama besar. Kontrol kualitas sulit sekali
dapat dilaksanakan untuk membuat obat racikan ini.
2. Stabilitas obat tertentu dapat menurun bila bentuk aslinya
digerus, misalnya bentuk tablet salut selaput (film coated), tablet
salut selaput (enteric coated), atau obat yang tidak stabil (misalnya
asam klavulanat) dan obat yang higroskopis (misalnya preparat yang
mengandung enzim pencernaan)
3. Toksisitas obat dapat meningkat, misalnya preparat lepas lambat
bila digerus akan kehilangan sifat lepas lambatnya.
4. Waktu penyediaan obat lebih lama. Rata2 diperlukan waktu 10
menit untuk membuat satu resep racikan puyer, 20 menit untuk racikan
kapsul,sedangkan untuk mengambil obat jadi diperlukan waktu hanya
kurang dari 1 menit. Kelambatan ini berpengaruh terhadap tingkat
kepuasan pasien terhadap layanan di SGHLK.
5. Efektivitas obat dapat berkurang karena sebagian obat akan
menempel pada blender/mortir dan kertas pembungkus. Hal ini terutama
terjadi pada obat-obat yang dibutuhkan dalam jumlah kecil, misalnya
puyer yang mengandung klopromazin
6. Pembuatan obat puyer menyebabkan pencemaran lingkungan yang
kronis
di bagian farmasi akibat bubuk obat yang beterbangan ke sekitarnya.
Hal ini dapat merusak kesehatan petugas setempat
7. Obat racikan puyer tidak dapat dibuat dengan tingkat higienis
yang tinggi sebagaimana halnya obat yang dibuat pabrik karena
kontaminasi yang tak terhindarkan pada waktu pembuatannya
8. Pembuatan obat racikan puyer membutuhkan biaya lebih mahal
karena menggunakan jam kerja tenaga di bagian farmasi sehingga
asumsi bahwa harganya akan lebih murah belum tentu tercapai
9. Dokter yang menulis resep sering kurang mengetahui adanya obat
sulit dibuat puyer (difficult-to compound drugs) misalnya preparat enzim
10. Peresepan obat racik puyer meningkatkan kecenderungan penggunaan
Obat irasional karena penggunaan obat polifarmasi tidak mudah diketahui
oleh pasien.
Bagaimana mengatasinya?
Dari uraian di atas terlihat bahwa peresepan racikan puyer membawa
risiko untuk pasien dan berbagai dampak negatif lainnya. Sebagai
rumah sakit yang bercita-cita mencapai standar internasional,
khususnya dalam melindungi keselamatan pasien, maka di RSSG
frekuensi penulisan resep dan pembuatan obat racikan ini perlu
diupayakan untuk dihapus.
Komite Farmasi dan Terapi SGHLK menganjurkan agar penulisan resep obat
racik puyer dan pembuatannya dibatasi hanya untuk kebutuhan obat yang
tidak tersedia dalam bentuk formulasi untuk anak atau bila untuk
sementara tidak tersedia di pasaran. Obat-obat untuk anak yang
tersedia dalam bentuk obat sirup atau tetes misalnya amoksisilin,
ibuprofen, parasetamol, teofilin, bromheksin, dll. seyogyanya
tidak lagi diresepkan dalam bentuk racikan puyer.
Untuk membantu para dokter mengetahui obat apa saja untuk anak yang
tersedia dalam bentuk formulasi pabrik, bagian farmasi akan menyediakan
daftar obat2 tersebut kepada para dokter di SGHLK. Kelak diharapkan
semua kebutuhan obat untuk anak dapat dipenuhi berdasarkan obat
formulasi pabrik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar