BAB I TINJAUAN FARMAKOLOGI
1.1. Indikasi Parasetamol umumnya digunakan sebagai analgetik dan antipiretik, tetapi tidak antiradang. Umumnya dianggap sebagai antinyeri yang paling aman untuk swamedikasi (pengobatan mandiri). Sebagai analgesik, parasetamol bekerja dengan meningkatkan ambang rangsang rasa sakit. Sebagai antipiretik, parasetamol diduga bekerja langsung pada pusat pengatur panas di hipotalamus. Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu (Tjay dkk., 2008).
1.2. Farmakokinetik Parasetamol diabsorpsi melalui saluran gastrointestinal dengan konsentrasi puncak plasma menccapai sekitar 10-60 menit dengan rute per oral. Parasetamol didistribusikan ke hampir semua jaringan tubuh. Melewati plasenta dan mengalir melalui air susu. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi terapeutik normal, namun dapat meningkat dengan peningkatan konsentrasi. Waktu paruh eliminasi dari parasetamol bervariasi antara 1 hingga 3 jam (Sweetman, 2002). Pada penggunaan per oral parasetamol diserap dengan cepat melalui saluran cerna. Kadar maksimum dalam plasma dicapai dalam waktu 30 menit sampai 60 menit setelah pemberian. Parasetamol dimetabolisme dalam hati dan diekskresi melalui urine sebagai glukoronide dan sulfat konjugasi. Kurang dari 5% diekskresi sebagai parasetamol. Eliminasi terjadi kira-kira 1-4 jam. Ikatan protein plasma dapat diabaikan pada konsentrasi normal tetapi dapat meningkat dengan peningkatan konsentrasi (Reynolds, 1989). Parasetamol sebagian besar dimetabolisme di hati dan disekresi lewat urin terutama dalam bentuk glucoronide dan konjugasi sulfat. Kurang dari 5 % dikeluarkan dalam bentuk tetap parasetamol. Suatu metabolit terhidroksilasi (N- acetyl-p-benzoquinoneimine), selalu diproduksi dengan jumlah yang sedikit oleh isoenzim sitokrom P450 (terutama CYP2E1 dan CYP3A4) didalam hati dan ginjal. Metabolit ini selalu terdetoksifikasi melalui konjugasi dengan glutasion, tetapi dapat
terjadi akumulasi diikuti dengan overdosis parasetamol dan menyebabkan kerusakan jaringan (Sweetman, 2002).
1.3. Mekanisme Kerja Parasetamol dapat menurunkan demam dengan bekerja pada hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi dan pengeluaran keringat (Turkoski dkk., 2003). Pada dosis terapeutik, inhibisi sintesis prostaglandin tidak signifikan pada jaringan peripheral, sehingga parasetamol memiliki efek anti inflamasi yang rendah. Meskipun parasetamol menginhibisi dengan lemah isolasi cyclo-oxygenase (COX)-1 dan COX-2 secara in vitro, tetapi bersifat inhibitor kuat dari sintesis prostaglandin didalam system selular pada saat konsentrasi dari asam arachidonat rendah (Mashford, 2007).
1.4. Efek Samping Efek samping jarang terjadi lewat dosis sedang seperti mual, muntah, nyeri perut, menggigil. Dosis lebih berkepanjangan dapat mengakibatkan neutropenia, leukopenia, trombositopenia, pensilopenia, agranulositosis, reaksi hipersensitivitas, udem laring, lesi mukosa, eritemia atau ruam, udem angioneurotik dan demam. Reaksi hipersensitivitas meliputi gejala urtikaria, disponoea, dan hipotensi, hal ini dapat terjadi setelah penggunaan parasetamol baik pada dewasa maupun anak-anak. Juga dilaporkan terdapat angioedema (Sweetman, 2002).
1.5. Kontraindikasi Penderita dengan gangguan fungsi hati yang berat, gangguan fungsi ginjal, dan penderita dengan riwayat hipersensitivitas pada parasetamol (Lacy, 2004).
1.6. Peringatan dan Perhatian
• Hati-hati penggunaan obat ini pada penderita gangguan fungsi ginjal.
• Bila setelah 5 hari nyeri tidak menghilang, atau demam tidak menurun setelah 3 hari, segera hubungi unit
pelayanan kesehatan.
• Penggunaan obat ini pada penderita yang mengkonsumsi alkohol dapat meningkatkan resiko kerusakan hati
1.7. Interaksi Obat Efek analgetis parasetamol diperkuat oleh kodein dan kafein. Pada dosis tinggi dapat memperkuat efek antikoagulansia tetapi pada dosis biasa tidak interaktif. Masa paruh kloramfenikol dapat sangat diperpanjang. Kombinasi dengan obat AIDS zidovudin meningkatkan resiko akan neutropenia (Tjay dkk., 2008). Pemberian bersama-sama diflusinal mengakibatkan kenaikan konsentrasi plasma. Resin penukar anion : kolesteramin menurunkan absorbsi parasetamol. Penggunaan antikoagulan dan parasetamol dalam jangka waktu yang lama mungkin meningkatkan konsentrasi warfarin. Metoclopramide dan domperidon metoclopramis mempercepat absorbsi parasetamol (meningkatkan efek) (Anonim c, 2005).
1.8. Penyimpanan Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya (Anonim a, 1979).
BAB II SIFAT FISIKA KIMIA BAHAN OBAT
2.1 Tinjauan Sifat Fisiko-Kimia Zat Aktif paracetamolDefinisi : Acetaminophen mengandung tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2, dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan (Depkes, 1979). Struktur dan Berat Molekul : Struktur kimia : (Moffat, 2005). Berat molekul : 151,16 Pemerian Hablur atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit(Anonim a, 1979) Kelarutan : Parasetamol agak sukar larut dalam air (1 : 70), larut dalam air mendidih (1 : 20), mudah larut dalam alkohol (1 : 7 atau 1: 10), larut dalam aseton (1 : 13), agak sukar larut dalam gliserol (1: 40), mudah larut dalam propilen glikol (1: 9), sangat sukar larut dalam kloroform, praktis tidak larut dalam eter, larut dalam larutan alkali hidroksida (Reynolds, 1989).
Stabilitas :
• Terhadap cahaya: Tidak stabil terhadap sinar UV
• Terhadap suhu: peningkatan suhu dapat mempercepat degradasi obat
• Hidrolisis dapat terjadi pada keadaan asam ataupun basa. Hidrolisis minimum terjadi pada rentang pH antara 5-7
Titik Lebur : 1690 sampai 1720 (Anonim a, 1979)
2.2 TINJAUAN SIFAT FISIKO-KIMIA BAHAN TAMBAHAN
1. Oleum cacao ( Lemak Coklat )
o Pemerian Lemak padat, putih kekuningan, bau khas aromatik, rasa khas lemak, agak rapuh.
o Kelarutan Sukar larut dalam etanol (95%) P, mudah larut dalam kloroform P, dalam eter P, dan dalam eter minyak tanah P.
o Kegunaan Zat tambahan.
o Titik leleh 300-360C
o Indeks bias 1,4564 sampai 1,4575; penetapan dilakukan pada suhu 40°.
o Bilangan asam tidak lebih dari 4,0.
o Bilangan iodium 35 sampai 40.
o Bilangan penyabunan
188° sampai 196° (Anonim a, 1979). Oleum cacao USP, didefinisikan sebagai lemak yang diperoleh dari biji theobroma cacao yang dipanggang. Secara kimia adalah trigliserida ( campuran gliserin dan satu atau lebih asam lemak yang berbeda ) terutama oleopalmitostearin dan oleodistearin. Oleh karena oleum cacao meleleh pada 300-360C merupakan basis supositoria yang ideal, yang dapat melumer padas suhu tubuh tapi tetap dapat bertahan sebagai bentuk padat pada suhu kamar biasa. Akan tetapi oleh karena kandungan trigliseridanya oleum cacao menunjukkan sifat polimorfisme atau keberadaan zat tersebut dalam berbagai bentuk kristal. Oleh karena itu, bia oleum cacao tergesa – gesa atau tidak hati – hati dicairkan pada suhu yang melebihi suhu minimumnya, lalu segera didinginkan maka hasilnya berbentuk kristal metastabil (suatu bentuk kristal) dengan titik lebur yang lebih rendah dari titik lebur oleum cacao asalnya. Bahan – bahan seperti fenol dan kloralhidrat cenderung menurunkan titik lebur dari oleum cacao sewaktu bercampur dengan bahan tersebut. Jika titik lebur menurun sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dijadikan supositoria yang padat dengan menggunakan oleum cacao sebagai basis tunggal, maka bahan pengeras seperti lilin setil ester ( + 20%) atau malam tawon ( + 4 % ) dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh pelunakan dari bahan yang ditambahkan. (Ansel, 1989)2. Cetaceum (Spermaceti)
o Pemerian Malam padat murni diperoleh dari minyak lemak yang terdapat pada kepala lemak dan badan Physeter Catodon L. Hyperoodan costralos Muller (Billberg). Massa hablur, bening, licin, putih mutiara; baud an rasa lemah.
o Kelarutan
Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol 95% P dingin; larut dalam 20 bagian etanol 95% P mendidih, dalam kloroform P, dalam eter P, dalam karbondisulfida P, dalam minyak, dan dalam minyak atsiri. o Bobot jenis Lebih kurang 0,95 o Suhu lebur 42o sampai 50o o Bilangan asam Tidak lebih dari 1,0 o Bilangan iodium 3 sampai 5 o Bilangan penyabunan 125o sampai 136o o Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik. o Khasiat dan penggunaan Zat tambahan (Anonim a, 1979) Spermaceti adalah lilin padat yang diperoleh dari kepala paus Sperms (Physetercatodon L.). Spermaceti mengandung 80%campuran setil palmitat dan setil miristatdengan perbandingan yang sama. Juga terdapat sejumlah kecil ester dari asam lemakseperti asam laurat. Spermaceti mengandung 51,5-53% lilin alkohol.
BAB III BENTUK BAHAN, DOSIS DAN CARA PEMAKAIAN
bougie bentuknya ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan ke dalam saluran urin pria atau wanita. Supositoria saluran urin pria bergaris tengah 3-6 mm dengan panjang ± 140 mm, walaupun ukuran ini masih bervariasi satu dengan lainnya. Apabila basisnya dari oleum cacao maka beratnya ± 4 gram. Supositoria untuk saluran urin wanita panjang dan beratnya ½ dari ukuran untuk pria, panjang ± 70 mm dan beratnya 2 gram dan basisnya oleum cacao (Ansel, 1989).
3.2 Dosis Dosis obat yang digunakan melalui rectum mungkin lebih besar atau lebih kecil daripada obat yang dipakai secara oral, tergantung kepada faktor-faktor seperti keadaan tubuh pasien, sifat fisika kimia obat dan kemampuan obat melewati penghalang fisiologi untuk absorpsi dan sifat basis supositoria serta kemampuannya melepaskan obat supaya siap untuk diabsorpsi (Ansel, 1989). Bobot supositoria bila tidak dinyatakan lain adalah 3 gram untuk orang dewasa dan 2 gram untuk anak (Anief, 2006). Umur Dosis Keterangan Tiap 4-6 jam, maks 4x 1-5 tahun 125-250 mg sehari Tiap 4-6 jam, maks 4x 6-12 tahun 250-500 mg sehari Tiap 4-6 jam, maks 4x dewasa 0,5-1 gram sehariBNFC merekomendasikan dosis rektal pada bayi sebagai berikut: • Neonatus usia 28-32 minggu, 20 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian 15 mg/ kg tiap 12 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 30 mg/kg sehari. • Neonatus usia diatas 32 minggu, 30 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian 20 mg/kg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 60 mg/kg sehari. • Bayi usia 1-3 bulan, 30-60 mg tiap 8 jam bila diperlukan, dengan dosis maksimum 60 mg/kg sehari. • Bayi usia 2-12 bulan, 60-125 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan hingga maksimum 4 kali dalam 24 jam.
• Anak usia 5-12 tahun, 250-500 mg tiap 4-6 jam bila diperlukan hingga maksimum 4 kali dalam 24 jam. • Pada gejala yang berat, anak-anak usia 1-3 bulan dapat diberikan 30 mg/kg sebagai dosis tunggal, kemudian diikuti dengan 20 mg/kg tiap 8 jam hingga maksimum 60 mg/kg sehari. Anak-anak dengan usia lebih besar dapat diberikan 40 mg/kg dalam dosis tunggal yang diikuti dengan 20 mg/kg tiap 4-6 jam hingga maksimum 90 mg/kg sehari dalam 48 jam, bila diperlukan, sebelum diturunkan mencapai 15 mg/kg tiap 6 jam (Sweetman, 2002)3.3 Cara Pemberian Pemberian obat parasetamol dengan sediaan suppositoria dengan memasukkan obat melalui anus atau rektum dalam bentuk suppositoria Petunjuk pemakaian : Cuci tangan sampai bersih, buka pembungkus suppositoria, kemudian tidur dengan posisi miring. Supositoria dimasukkan ke rektum dengan cara bagian ujung supositoria didorong dengan ujung jari, kira-kira ½ - 1 inci pada bayi dan 1 inci pada dewasa, bila perlu ujung supositoria di beri air untuk mempermudah penggunaan. Untuk nyeri dan demam satu supositoria diberikan setiap 4 – 6 jam jika diperlukan. Gunakan supositoria ini 15 menit setelah buang air besar atau tahan pengeluaran air besar selama 30 menit setelah pemakaian supositoria. Hanya untuk pemakaian rektal. Hentikan penggunaan dan hubungi dokter jika sakit berlanjut hingga 3 hari. Jauhkan dari jangkauan anak-anak. Jika tertelan atau terjadi over dosis segera hubungi dokter (Monson, 2007)
BAB IVMACAM-MACAM FORMULASI
4.1. Formula BakuFormulasi 1 No. 1 No. 2 150 mg 500 mgI. Paracetamol, fine powder ...............................15.4 g 50.0 g Aerosil 200 [4] ..................................................0.2 g –II. Lutrol E 400 [1] ............................................... – 10.0 g Lutrol E 1500 [1] ...........................................129.0 g 60.0 g Lutrol E 4000 [1]..............................................55.4 g 80.0 g (Buhler, 1998)Formulasi 2Parasetamol 120 mgPEG 300 180,8 mgPEG 4000 723,2 mg (Reynolds, 1989).Formula 3Parasetamol 250 mgPEG 4000 33%PEG 6000 47%Air 20% (Reynolds, 1989).Formula 4Parasetamol (Asetaminofen) 6,25 %Oleum cacao 95,8 %Cetaceum 5% (Reynolds, 1989).
4.2. Formula yang Digunakan Parasetamol (Asetaminofen) 6,25 %
Oleum cacao 95,8 % Cetaceum 5%
4.3. Permasalahan 1. Sifat karakteristik dari oleum cacao dimana jika pemanasannya tinggi akan mencair sempurna seperti minyak dan kehilangan semua inti kristal yang stabil yang berguna untuk memadat, bila didinginkan di bawah 15o akan mengkristal dalam bentuk kristal metastabil (Anief, 2006). 2. Oleum cacao memiliki kemampuan menyerap air yang rendah 3. Oleum caco cenderung lengket pada cetakan 4. Oleum cacao mudah meleleh dimana titik leburnya 30-36oC 5. Pada pengisian masa supositoria ke dalam cetakan, oleum cacao cepat membeku dan pada pendinginan terjadi susut volume hingga terjadi lubang di atas masa (Anief, 2006). 6. Oleum cacao mudah mencair dan menjadi tengik selama penyimpanan.
4.4. Pengatasan Permasalahan 1. Pemanasan oleum cacao tidak boleh melebihi suhu minimumnya. Harus dilebur perlahan-lahan di atas penangas air berisi air hangat untuk menghindari terjadinya bentuk kristal yang tidak stabil dan untuk menjamin retensi dalam cairan dari bentuk kristal β yang lebih stabil sehingga akan membentuk inti dimana pengentalan mungkin terjadi sewaktu pengentalan cairan tersebut (Ansel, 2005) 2. Untuk meningkatkan kemampuan oleum cacao dalam menyerap air maka ditambahkan cetaceum dengan rentang 4-6% 3. Untuk mencegah lengket pada cetakan maka sebelum digunakan cetakan dilapisi dengan gliserin. 4. Untuk meningkatkan titik lebur oleum cacao dapat digunakan tambahan cetaceum tidak lebih dari 6% dan tidak kurang dari 4% (Anief, 2006) 5. Pada pengisian cetakan harus diisi lebih, baru setelah dingin kelebihannya dipotong (Anief, 2006).
6. Oleum cacao harus disimpa pada tempat dingin, kring dan terlindung dari cahaya (Lachman, 1994)
4.5. Perhitungan Formulasi Berat Suppositoria = 2 gr Kadar parasetamol tiap 1 suppositoria = 125 mg = 6,25% Nilai tukar paracetamol terhadap Oleum cacao = 1,5 (Lachman, 1994) Dibuat 10 sediaan suppositoria Parasetamol yang ditimbsng = 10 x 0,125 gram = 1,25 gram Berat suppositoria = 10 x 2 gram = 20 gram Nilai tukar parasetamol = 1,5 x 1,25 gram = 1,875 gram Jumlah oleum cacao yang digunakan = (20-1,875) gram = 18,125 gram Berat cetaceum = 5% x berat basis yang diperlukan = 5% x 18,125 gram = 0,906 gram
4.6. Penimbangan Tiap penimbangan bahan ditambahkan bobotnya 5% untuk zat aktif dan 10% zat tambahan. Persentase Penimbangan Penambah Penimbangan Bahan Fungsi (%) 10 sediaan (gr) an bobot akhir (gr) Parasetamol Zat aktif 6,25 1,25 5% 1,3125 Oleum Basis 95,8 18,125 10% 19,9375 cacao suppo Zat Cetaceum 5 0,906 10% 0,9966 tambahan
BAB V PROSEDUR KERJA
5.1. Alat dan Bahan Alat : − Timbangan − Mortar dan stamper − Gelas ukur − Penangas air − Sendok tanduk − Pipet tetes − Kertas perkamen − Batang pengaduk − Cetakan suppositoria − Gelas beaker − Sudip Bahan : − Parasetamol − Oleum cacao − Cetaceum − Gliserin basis yang telah ditimbang ke dalam cawan yang telah berisi Dimasukkan leburan cetaceum dan dilebur kembali sampai semua melebur sempurna pada
5.2. Cara Kerja 0-360C secara perlahan-lahan suhu 30 Ditimbang semua bahan dengan seksama Dicampurkan zat aktif parasetamol sedikit demi sedikit ke dalam leburan basis sambil dilakukan pengadukan Dileburkan cetaceum di atas penangas air terlebih dahulu hingga melebur semua Setelah basis dan zat aktif tercampur semua, campuran kemudian dituang kedalam cetakan Ditunggu hasil tuangan tersebut sampai beku, kemudian dikeluarkan dari cetakan Supositoria yang sudah beku, ditimbang dan ditentukan bobotnya kemudian dibungkus dengan aluminium foil serta dikemas dalam kotak
BAB VIEVALUASI SEDIAAN
6.1 Fisika • Uji Kisaran Leleh Uji ini disebut juga uji kisaran meleleh makro, dan uji ini merupakan suatu ukuran waktu yang diperlukan supositoria untuk meleleh sempurna bila dicelupkan dalam penangas air dengan temperatur tetap (370C). Sebaliknya uji kisaran meleleh mikro adalah kisaran meleleh mikro adalah kisaran leleh yang diukur dalam pipa kapiler hanya untuk basis lemak. Alat yang biasa digunakan untuk mengukur kisaran leleh sempurna dari supositoria adalah suatu Alat Disintegrasi Tablet USP. Supositoria dicelupkan seluruhnya dalam penangas air yang konstan, dan waktu yang diperlukan supositoria untuk meleleh sempurna atau menyebar dalam air sekitarnya diukur (Anonim b, 1995).
• Uji Pencairan atau Uji Waktu Melunak dari Supositoria Rektal Sebuah batangan dari kaca ditempatkan di bagian atas supositoria sampai penyempitan dicatat sebagai waktu melunak. Ini dapat dilaksanakan pada berbagai temperatur dari 35,5 sampai 370C sebagai suatu pemeriksaan pengawasan mutu, dan dapat juga diukur sebagai kestabilan fisika terhadap waktu. Suatu penangas air dengan elemen pendingin dan pemanas harus digunakan untuk menjamin pengaturan panas dengan perbedaan tidak lebih dari 0,10C (Anonim b, 1995).
• Uji Kehancuran Uji kehancuran dirancang sebagai metode untuk mengukur kekerasan atau kerapuhan suppositoria. Alat yang digunakan untuk uji tersebut terdiri dari suatu ruang berdinding rangkap dimana suppositoria yang diuji ditempatkan. Air pada 370C dipompa melalui dinding rangkap ruang tersebut, dan suppositoria diisikan ke dalam dinding dalam yang kering, menopang lempeng dimana suatu batang dilekatkan. Ujung lain dari batang tersebut terdiri dari lempeng lain dimana beban digunakan. Uji dihubungkan dengan penempatan 600 g diatas lempeng datar. Pada interval waktu 1 menit, 200 g bobot ditambahkan, dan bobot dimana suppositoria rusak adalah titik hancurnya atau gaya yang menentukan karakteristik kekerasan dan kerapuhan suppositoria tersebut. Titik hancur yang dikehendaki dari masing-masing bentuk suppositoria yang beraneka
ragam ditetapkan sebagai level yang menahan kekuatan (gaya) hancur yang disebabkan oleh berbagai tipe penanganan yakni; produksi, pengemasan, pengiriman, dan pengangkutan dalam penggunaan untuk pasien (Anonim b, 1995).
• Uji disolusi Pengujian awal dilakukan dengan penetapan biasa dalam gelas piala yang mengandung suatu medium. Dalam usaha untuk mengawasi variasi pada antarmuka massa/medium, digunakan keranjang kawat mesh atau suatu membrane untuk memisahkan ruang sampel dari bak reservoir. Sampel yang ditutup dalam pipa dialysis atau membran alami juga dapat dikaji. Alat sel alir digunakan untuk menahan sampel di tempatnya dengan kapas, saringan kawat, dan yang paling baru dengan manic-manik gelas (Anonim b, 1995).
• Uji keseragaman bobot Timbang suppo satu persatu dan hitung rata-ratanya. Hitung persen kelebihan masing-masing suppo terhadap bobot rata-ratanya. Keseragaman/variasi bobot yang didapat tidak boleh lebih dari ± 5% (Anonim b, 1995).6.2 Kimia • Penetapan kadar Timbang 300 mg dengan seksama larutkan dalam 8 mL asam sulfat bebas nitrogen titrasi dengan asam sulfat 0,1 N dengan indikator larutan merah metil-biru metilen. 1 mL asam sulfat 0,1 N setara dengan 15,116 mg paracetamol (Galichet, 2004 ).
• Identifikasi Apabila ditambahkan feriklorida→ biru; folin ( reagen ciocatalteu )→ biru; Lieberman test→violet; reagen nessler’s→coklat. Bila 0,1 g dipanaskan dengan 1 ml asam hidrokloric selama 3 menit kemudian ditambahkan 10 ml air kemudian didinginkan dan ditambahkan 0,05 ml potassium bikromat 0,02 M→viloet ( Galichet, 2004 ).
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. 2006. Ilmu Meracik Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.Anonim a. 1979. Farmakope Indonesia Edisi II Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Anonim b. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Ansel C. Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta. UI Press.Buhler, Volker. 1998. Generic Drug Formulation 2nd Edition. BASF Fine Chemical.Lachman, L., H. A. Libermen, dan J.L. Kanig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri, Edisi Ketiga. Jakarta : UI Press.Lacy, C. F., rt al. 2006. Drug Information Handbook. Ohio : Lexi-comp.Mashford, M. L. 2007. Theraputic Guidelines: Analgesic, Version 5. Australia : Therapeutic Guidelines Limited.Moffat, Antony C., MDavid Osselton, dan Brian Widdop. 2005. Clarke’s Analysis of Drug and Poisons. 3rd editions. The Pharmaceutical press.Monson, K, and A. Schoenstadt. 2007. Acetaminophen Suppository Dosing Chart. (cited 2010 Nov, 26). Available at : http://kids.emedtv.com/Reynolds, J.E.F. 1989. Martindale The Extra Pharmacopoeia, Twenty-ninth edition. London. The Pharmaceutical Press.Sweetman, Sean C. 2002. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-Third edition. London Chicago. Pharmaceutical Press.Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2008. Obat-Obat Penting. Edisi ke-VI. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar