Sangatlah sulit menahan jeritanku menerobos keluar kerongkongan. Setelah susah payah menahan, akhirnya kata-kata yang keluar dari bibirku hanyalah, “Ka-kamu?”
“Iya, ini aku. Boleh aku masuk?”
Gemetaran dari ujung kepala sampai ujung kaki, aku mempersilakan ia masuk. Sekilas kuamati sosoknya. Wajahnya kini berhiaskan janggut lebat dan… bekas luka?
“Kenapa kamu luka-luka begitu?” tanyaku tanpa sadar mencengkeram lengan atasnya. Ia meringis sedikit sambil menatapku seolah berkata “Sakit, bodoh!”
Kuhempaskan lengannya. “Duduklah. Biar aku ambilkan minum dan obat.” Tanpa menunggu jawabannya, kutinggal ia ke dapur. Tak lebih dari 10 menit aku sudah kembali menemuinya. Kupersilakan ia menghirup teh buatanku. Jasmine tea. Kesukaannya. Sejak 5 tahun yang lalu.
“Apa yang terjadi padamu?” tanyaku tak sabar, namun ia mengangkat satu tangannya sambil menukas. “Please. Setidaknya biarkan aku mengobati luka-lukaku.”
“Biar aku saja,” bantahku sambil agak gegabah mengambil alkohol, obat merah, dan kapas dari kotak P3K, kemudian dengan cekatan membersihkan luka-lukanya. Sesekali ia meringis ketika tetesan alkohol meresap perih ke luka-lukanya.
“Selesai,” gumamku setelah menutup luka di atas alisnya dengan perban.
“Terima kasih,” ia balas bergumam. Lembut.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu luka-luka begitu?”
Ia mengusap bekas luka di dekat bibirnya. “Aku jatuh, Cinta…”
Cin…ta?
“Kamu salah memilih waktu untuk bercanda. Ini bukan lagi 5 tahun yang lalu!” tukasku ketus, namun ia tak mendengarkan, malah terus bercerita.
“Aku jatuh dari sepeda tadi sore di depan Starbucks Coffee. Aku melihatmu keluar dari sebuah butik dan bermaksud mengejarmu, namun sebuah sepeda motor menyerempetku.”
Ah. Tadi pagi memang aku sempat mampir ke sebuah butik favoritku. Tapi…
“Bagaimana kamu tahu itu aku?”
“Kamu memakai jaket yang aku belikan dari tabungan 3 bulan gajiku waktu ulang tahunmu. Aku langsung mengenalinya,” jawabnya ringan.
Aku mengernyit. “Apa maksudmu mengungkit-ungkit hal itu?” tanyaku sedikit tersinggung.
“Karena dari dulu sampai sekarang uangku tidak akan mampu menandingi kekayaanmu, Cinta,” Panggilan itu lagi! “Maaf kalau aku menyinggungmu. Tapi dari tampilan tempat tinggalmu sekarang, sepertinya kamu sudah melarikan diri dari kehidupan mewahmu di Jakarta.”
Huh! Ternyata dia tahu kalau apartemenku ini hanyalah apartemen bobrok untuk ukuran kota New York!
“Pasti sudah heboh diliput pers kan?” aku menanggapi pernyataannya dengan nada sarkastis.
“Memang heboh,” jawabnya singkat. Aku tak berkata apa-apa lagi.
“Pulanglah denganku,” tiba-tiba ia melanjutkan.
“Pulang denganmu??” alisku spontan terangkat.
“Kamu pikir kenapa aku sekarang ada di sini?” tanyanya.
“Aku mendengar kabar pertengkaranmu dengan ayahmu, lalu kamu menghilang,” tukasnya setelah meneguk tehnya lagi. “Dan aku yakin sekali kalau kamu pasti kabur ke New York untuk bersembunyi. Seperti biasa..”
“Tapi ngapain sih kabur jauh-jauh? Sebenarnya di Jakarta juga bisa. Bersamaku,” ujarnya sambil menatapku serius. “Pulanglah bersamaku. Kita naik pesawat kelas ekonomi, transit di Thailand, lalu ke Jakarta. Kamu bisa tinggal di kos adikku sementara sampai....”
“Sampai kapan?!”
“...sampai kamu bersedia menikah denganku. Kita tidak butuh kekayaan ayahmu kan? Aku bisa menyediakan rumah, mobil…walau mungkin tidak seukuran istana Buckingham dan Maserati baru,” tuturnya setengah bercanda.
Pulang. Dengannya. Menjauhi segala kemewahan. Menyingkir dari kungkungan dan aturan…
“Besok saja kupikirkan,” jawabku singkat.
Ia mendengus tertawa. “Aku hafal sekali kebiasaanmu. Kamu pasti tertarik dengan tawaranku, kan?” tanyanya setengah meledek.
“Sialan! Sudahlah, jangan menggangguku terus. Lebih baik kau pulang,” bantahku salah tingkah.
“Bagaimana kalau aku tak ingin pulang? Demi 5 tahun yang hilang?” ia menantangku.
Aku menghela nafas lelah. “Terserah dirimu sajalah.” Tapi setelah itu tak urung aku tertawa juga. Aku rindu suasana rileks seperti ini. Bersamanya.
“Iya, ini aku. Boleh aku masuk?”
Gemetaran dari ujung kepala sampai ujung kaki, aku mempersilakan ia masuk. Sekilas kuamati sosoknya. Wajahnya kini berhiaskan janggut lebat dan… bekas luka?
“Kenapa kamu luka-luka begitu?” tanyaku tanpa sadar mencengkeram lengan atasnya. Ia meringis sedikit sambil menatapku seolah berkata “Sakit, bodoh!”
Kuhempaskan lengannya. “Duduklah. Biar aku ambilkan minum dan obat.” Tanpa menunggu jawabannya, kutinggal ia ke dapur. Tak lebih dari 10 menit aku sudah kembali menemuinya. Kupersilakan ia menghirup teh buatanku. Jasmine tea. Kesukaannya. Sejak 5 tahun yang lalu.
“Apa yang terjadi padamu?” tanyaku tak sabar, namun ia mengangkat satu tangannya sambil menukas. “Please. Setidaknya biarkan aku mengobati luka-lukaku.”
“Biar aku saja,” bantahku sambil agak gegabah mengambil alkohol, obat merah, dan kapas dari kotak P3K, kemudian dengan cekatan membersihkan luka-lukanya. Sesekali ia meringis ketika tetesan alkohol meresap perih ke luka-lukanya.
“Selesai,” gumamku setelah menutup luka di atas alisnya dengan perban.
“Terima kasih,” ia balas bergumam. Lembut.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu luka-luka begitu?”
Ia mengusap bekas luka di dekat bibirnya. “Aku jatuh, Cinta…”
Cin…ta?
“Kamu salah memilih waktu untuk bercanda. Ini bukan lagi 5 tahun yang lalu!” tukasku ketus, namun ia tak mendengarkan, malah terus bercerita.
“Aku jatuh dari sepeda tadi sore di depan Starbucks Coffee. Aku melihatmu keluar dari sebuah butik dan bermaksud mengejarmu, namun sebuah sepeda motor menyerempetku.”
Ah. Tadi pagi memang aku sempat mampir ke sebuah butik favoritku. Tapi…
“Bagaimana kamu tahu itu aku?”
“Kamu memakai jaket yang aku belikan dari tabungan 3 bulan gajiku waktu ulang tahunmu. Aku langsung mengenalinya,” jawabnya ringan.
Aku mengernyit. “Apa maksudmu mengungkit-ungkit hal itu?” tanyaku sedikit tersinggung.
“Karena dari dulu sampai sekarang uangku tidak akan mampu menandingi kekayaanmu, Cinta,” Panggilan itu lagi! “Maaf kalau aku menyinggungmu. Tapi dari tampilan tempat tinggalmu sekarang, sepertinya kamu sudah melarikan diri dari kehidupan mewahmu di Jakarta.”
Huh! Ternyata dia tahu kalau apartemenku ini hanyalah apartemen bobrok untuk ukuran kota New York!
“Pasti sudah heboh diliput pers kan?” aku menanggapi pernyataannya dengan nada sarkastis.
“Memang heboh,” jawabnya singkat. Aku tak berkata apa-apa lagi.
“Pulanglah denganku,” tiba-tiba ia melanjutkan.
“Pulang denganmu??” alisku spontan terangkat.
“Kamu pikir kenapa aku sekarang ada di sini?” tanyanya.
“Aku mendengar kabar pertengkaranmu dengan ayahmu, lalu kamu menghilang,” tukasnya setelah meneguk tehnya lagi. “Dan aku yakin sekali kalau kamu pasti kabur ke New York untuk bersembunyi. Seperti biasa..”
“Tapi ngapain sih kabur jauh-jauh? Sebenarnya di Jakarta juga bisa. Bersamaku,” ujarnya sambil menatapku serius. “Pulanglah bersamaku. Kita naik pesawat kelas ekonomi, transit di Thailand, lalu ke Jakarta. Kamu bisa tinggal di kos adikku sementara sampai....”
“Sampai kapan?!”
“...sampai kamu bersedia menikah denganku. Kita tidak butuh kekayaan ayahmu kan? Aku bisa menyediakan rumah, mobil…walau mungkin tidak seukuran istana Buckingham dan Maserati baru,” tuturnya setengah bercanda.
Pulang. Dengannya. Menjauhi segala kemewahan. Menyingkir dari kungkungan dan aturan…
“Besok saja kupikirkan,” jawabku singkat.
Ia mendengus tertawa. “Aku hafal sekali kebiasaanmu. Kamu pasti tertarik dengan tawaranku, kan?” tanyanya setengah meledek.
“Sialan! Sudahlah, jangan menggangguku terus. Lebih baik kau pulang,” bantahku salah tingkah.
“Bagaimana kalau aku tak ingin pulang? Demi 5 tahun yang hilang?” ia menantangku.
Aku menghela nafas lelah. “Terserah dirimu sajalah.” Tapi setelah itu tak urung aku tertawa juga. Aku rindu suasana rileks seperti ini. Bersamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar