BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Infeksi cacing (cacingan) merupakan salah satu penyakit yang prevalensinya masih cukup tinggi di Indonesia. Penyakit ini memang tidak membahayakan nyawa manusia, tetapi mampu membuat kualitas hidup penderitanya turun drastis dan dapat menyebabkan anak anemia. Angka penderitanya cukup tinggi karena cacing mudah menular melalui makanan atau langsung berhubungan dengan tanah yang banyak mengandung vektor cacing terutama pada orang yang tidak mengenakan alas kaki.
Cacingan dapat diatasi dengan pemberian obat – obat cacing pada penderita, tetapi itu membutuhkan cukup banyak peralatan dan biasanya dibuat oleh suatu pabrik, contoh obat yang sering digunakan pada saat ini adalah pirantel pamoat karena bersifat membunuh cacing dengan cara dilumpuhkan lalu cacing dikeluarkan tanpa menghancurkannya bersamaan dengan tinja, tetapi pirantel pamoat memiliki efek samping, diantaranya mual, muntah, reaksi alergi dan kadang kala sakit kepala (Tjay dan Rhardja, 2002:193).
Obat – obat cacing selain mempunyai indikasi juga mempunyai efek samping, oleh karena itu, perlu dibuat pengganti obat cacing tanpa efek samping yang mudah didapat dan dengan harga yang terjangkau yaitu memanfaatkan bahan alam.
Sejak dahulu bangsa Indonesia telah mengenal dan memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat sebagai salah satu upaya untuk menanggulangi masalah kesehatan. Alam Indonesia telah menyediakan berbagai solusi dalam memelihara kesehatan, salah satunya melalui terapi tumbuhan berkhasiat obat.
Berdasarkan alasan cukup riskannya efek samping obat – obat sintetik dan semakin mahalnya obat-obatan pabrik, oleh sebab itu pemanfaatan tanaman herbal menjadi alternatif pengobatan yang saat ini justru banyak dipakai di dunia medis. Selain itu obat herbal juga cenderung murah dan mudah didapat, dengan efek samping yang ditimbulkan juga relatif aman. Salah satu bahan alam yang berkhasiat sebagai obat adalah tanaman temu giring (Curcuma heyneana). Sebagian besar masyarakat Indonesia telah mengenal tanaman temu giring, tetapi masyarakat kurang memanfaatkan tanaman temu giring yang sesungguhnya berkhasiat sebagai anthelmintik. Salah satu metode pengujian khasiat anthelmintik adalah dengan mengukur kematian dan paralisis cacing. Hal inilah yang melatar belakangi penulis untuk melakukan penelitian tentang ”Uji Komparasi Khasiat Anthelmintik Seduhan Rimpang Temu Giring (Curcuma heyneana Rhizoma) Terhadap Pirantel Pamoat Pada Cacing Ascaridia galli Secara in Vitro”.
2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan :
Apakah seduhan rimpang temu giring (Curcuma heyneana Rhizoma ) mempunyai khasiat anthelmintik terhadap cacing Ascaridia galli ?
3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan hal – hal yang diuraikan dalam latar belakang dan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1.3.1 Tujuan umum
Ingin mengetahui efektifitas dan efisiensi seduhan rimpang temu giring (Curcuma heyneana Rhizoma) yang berkhasiat sebagai anthelmintik terhadap cacing Ascaridia galli.
Tujuan khusus
Mengetahui :
Berapa (LC50) konsentrasi yang optimal dari seduhan rimpang temu giring sebagai anthelmintik.
Berapa (LT50) lama waktu yang dibutuhkan untuk membunuh cacing Ascaridia galli.
Menetapkan dosis anthelmintik seduhan rimpang temu giring berdasarkan perbandingan LC50 seduhan rimpang tamu giring dengan LC50 Pirantel pamoat
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi penulis
Untuk mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh, khususnya di bidang Farmakognosi dan Farmakologi.
Menambah pengetahuan dan pengalaman penulis dalam membuktikan khasiat dari rimpang temu giring sebagai anthelmintik.
1.4.2 Bagi akademik
Sebagai bahan referensi perpustakaan jurusan Farmasi Poltekkes Depkes Jakarta II dalam hal penelitian khasiat rimpang temu giring sebagai anthelmintik, serta memberi inspirasi bagi mahasiawa lain untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.3 Bagi masyarakat
Untuk memberikan informasi dan pengetahuan mengenai seduhan rimpang temu giring yang berkhasiat sebagai anthelmintik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anthelmintik
Anthelmintik atau obat cacing adalah obat – obat yang dapat memusnahkan cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Yang tercakup dalam istilah ini adalah semua zat yang bekerja lokal menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat – obat sistemis yang membasmi cacing maupun larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh.
Banyak anthelmintik dalam dosis terapi hanya bersifat melumpuhkan cacing, jadi tidak mematikannya. Guna mencegah jangan sampai parasit menjadi aktif lagi atau sisa – sisa cacing mati dapat menimbulkan reaksi alergi, maka harus dikeluarkan secepat mungkin (Tjay dan Rahardja, 2002:185).
2.2 Penyakit Cacingan
Infeksi cacing merupakan salah satu penyakit yang paling umum tersebar dan menjangkiti lebih dari 2 miliar manusia di seluruh dunia. Walaupun tersedia obat-obat baru yang lebih spesifik dengan kerja lebih efektif, tetapi penyakit cacing masih tetap merupakan suatu masalah karena kondisi sosial-ekonomi.
Infeksi cacing umumnya terjadi melalui mulut, adakalanya langsung melalui luka di kulit (cacing tambang dan benang), atau lewat telur (kista) atau larvanya, yang ada di mana – mana di atas tanah (Tjay dan Rahardja, 2002:185).
Prosedur esensial untuk mendiagnosa infeksi cacing ini adalah melalui pemeriksaan mikroskopis dari telur atau larvanya dalam tinja, urin, darah dan jaringan.
Gejala dan keluhan dapat disebabkan oleh efek toksis dari produk-produk pertukaran zat cacing, penyumbatan usus halus dan saluran empedu (obstruksi), atau penarikan zat – zat gizi yang penting bagi tubuh. Sering kali gejala tidak begitu nyata dan hanya berupa gangguan lambung-usus, seperti mual, muntah, mulas, kejang – kejang dan diare berkala dengan hilangnya nafsu makan (anoreksia). Pada sejumlah cacing yang menghisap darah, maka tuan rumah dapat menderita kekurangan darah (anemia) (Tjay dan Rahardja, 2002:185).
Siklus dari infeksi Ascaris lumbricoides ini adalah dari manusia yang terinfeksi cacing mengeluarkan tinja, di dalam tinja telur cacing menjadi infektif (telur matang) setelah 3 minggu di tanah lalu telur cacing tersebut terbang dan tertelan oleh manusia dan menjadi cacing dewasa di dalam usus manusia, sehingga manusia terinfeksi cacing (Staf pengajar bagian parasitologi, 1998).
Pencegahan yang perlu dilakukan adalah mentaati aturan higiene tertentu dengan tegas dan konsekuen, terutama oleh anak – anak. Pencegahan yang terpenting diantaranya adalah selalu mencuci tangan sebelum makan atau sebelum mengolah bahan makanan. Jangan memakan sesuatu yang telah jatuh di tanah tanpa mencucinya bersih terlebih dahulu. Maka infeksi melalui mulut yang paling sering terjadi dapat dihindarkan. Tindakan selanjutnya dengan memperbaiki lingkungan hidup agar selalu terjaga kebersihannya (Tjay dan Rahardja, 2002:186).
2.3 Cacing Ascaridia galli
Ascaridia galli memiliki klasifikasi sebagai berikut :
Phylum : Nematoda
Classis : Secernentea
Ordo : Ascarida
Sub Ordo : Ascaridina
Super Familia : Ascaridoidea
Familia : Ascaridia
Genus : Ascaridia
Spesies : Ascaridia galli
Ascaridia galli merupakan cacing gelang yang banyak menyerang unggas (ayam). Terutama untuk unggas berumur 3 - 4 bulan. Spesimen dari parasit ini terkadang ditemukan dalam telur. Cacing ini dapat berpindah tempat dari usus ke dalam oviduct dan dapat masuk ke dalam telur pada saat pembentukan telur tersebut. Cacing dewasa mudah terlihat dengan mata telanjang karena cacing ini berukuran sebesar ½ - 3 inci. (http://en.wikipedia.org/wiki/Ascaridia_galli).
Penularannya dengan cara cacing betina akan meletakkan telurnya di usus unggas yang terinfeksi dan akan ikut dikeluarkan bersama tinja. Embrio akan terus berkembang dalam telur tersebut meskipun tidak akan langsung menetas. Larva dalam telur mencapai stadium infektif dalam 2 – 3 minggu. Unggas akan tertular dengan memakan telur cacing ini, unggas yang terinfeksi oleh cacing akan terlihat lesu, diare, kurus, nafsu makan berkurang, kotoran encer dan berlendir bewarna keputihan kadang berdarah, pertumbuhan lamban. Bila terinfeksi parah akan menimbulkan kematian. Infeksi Ascaridia galli pada unggas dapat dicegah dengan cara sanitasi kandang dan pemisahan unggas berdasarkan umur, bersihkan kandang. (http://www.merckvetmanual.com/mvm_ascaridia galli = translate.google.co.id)
2.4. Temu Giring (Curcuma heyneanae )
2.4.1 Klasifikasi tanaman
Temu giring memiliki klasifikasi sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Bangsa : Zingiberales
Suku : Zingiberaceae
Marga : Curcuma
Jenis : Curcuma heyneana VAL
Nama daerah
Temu Giring memiliki nama daerah yaitu Temu Reng.
Morfologi simplisia
Temu Giring memiliki ciri – ciri semak, semusim, tegak, tinggi ±1 m. Batang semu terdiri atas pelepah daun, permukaan licin warna hijau. Daun tunggal, permukaan licin, berpelepah warna hijau. Perbungaan majemuk, mahkota kuning muda. Daun tunggal, permukaan licin, tepi rata, ujung dan pangkal runcing, panjang 40-50 cm, lebar 15-18 cm, pertulangan menyirip, pelepah 25-35 cm, hijau muda. Bunga majemuk, berambut halus, panjang 15-40 cm, kelopak hijau muda, pangkal meruncing, ujung membulat, mahkota hijau muda, kuning muda. Akar serabut, kuning kotor. (Hutapea, 2001).
Kandungan kimia
Rimpang temu giring (Curcuma heyneana Rhizoma) mengandung saponin, flavonoida dan minyak atsiri (Hutapea, 2001).
Kegunaan dan khasiat
Rimpang temu giring (Curcuma heyneana Rhizoma) berkhasiat sebagai obat cacing untuk anak-anak dan untuk bahan kosmetika.
Untuk obat cacing pada anak-anak dpakai 20gram rimpang segar Curcuma heyneana, dicuci lalu diparut, ditambahkan ½ gelas air matang, diaduk kemudian disaring. Hasil saringan didiamkan selama 1 jam, diminum pada waktu pagi sebelum makan (Hutapea, 2001).
Pirantel Pamoat
Pirantel pamoat mengandung tidak kurang dari 97,0% dan tidak lebih dari 103,0% C34H30N2O6S dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Pemerian : padatan kuning hingga coklat. Kelarutan praktis tidak larut dalam air dan dalam metanol, larut dalam dimetil sulfoksida, sukar larut dalam dimetil formamida (Anonim, 1995: 719).
Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan – impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati. Di samping itu pirantel pamoat juga berkhasiat laksans lemah.
Resorpsinya dari usus ringan kira – kira 50% diekskresikan dalam keadaan utuh bersamaan dengan tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui urin. Efek sampingnya cukup ringan yaitu berupa mual, muntah, gangguan saluran cerna dan kadang sakit kepala. (Tjay dan Rhardja, 2002:193). Dosis terhadap cacing kremi dan cacing gelang sekaligus 2-3 tablet dari 250 mg, anak-anak ½ 2 tablet sesuai usia (10mg/kg). (Tjay dan Rhardja, 2002:193). Dosis tunggal pirantel pamoat 10mg/kg Bb (ISO, 2009 : 81).
Seduhan
Menyari bahan baku dengan cara menyeduh mirip dengan menyeduh teh. Bahan tersebut dipotong kecil – kecil dengan gunting atau dirajang dengan pisau. Untuk bahan yang keras dapat juga digunakan cara ini, tetapi harus diserbuk terlebih dahulu. Cara seduhan ini dapat digunakan untuk takaran tunggal atau takaran sehari. Untuk pemakaian sehari, sisa harus disimpan di tempat tertutup, jika memungkinkan di tempat sejuk (lemari es). Serbuk yang sudah berjamur, dimakan serangga, atau sudah menggumpal, sebaiknya tidak digunakan (Soedibyo, 1998).
Lethal Contcentration (LC50) dan Lethal Time (LT50)
Lethal Contcentration (LC50) adalah suatu besaran yang diukur secara statistik guna menyatakan konsentrasi suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50 % hewan uji atau yang dapat menyebabkan 50% kematian pada hewan percobaan dari suatu kelompok spesies dalam waktu tertentu.
Lethal Time (LT50) adalah suatu besaran yang diukur secara statistik guna menyatakan waktu yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50 % hewan uji.